Kamis, 24 Januari 2013

Di beranda



Sore ini aku duduk di beranda belakang rumah. Dengan kesadaran akan masa yang terlampau berubah. Tersebab waktu yang harus selalu menang, dan aku yang selalu kalah. Ada bagian dimana cerita cerita dulu pernah dikisahkan dengan ceria, sampai pada episode yang tak bahagia. 
Selamat senja, dewi. Selamat membaca gerimis gerimis yang jatuh di pelupuk matamu. Selamat mengeja mantra mantra kehidupan dalam sesap sejuk rintiknya. Adakah kau mengetahui ada ruh penjaga langit jatuh dalam pelukanmu saat kau meningkupkan tangan sore itu ? mungkin kau tak sadar, atau mungkin kau hanya tersenyum melihat jasad yang begitu sempurna berhambur dengan gerimis gerimis di beranda itu. 
Seharusnya gerimis ini masih mengandung rindu. Kenapa sekarang aku tak merasakan degup jantung yang merindu ? adakah kenangan kenangan sudah bosan menghantar ku ? adakah aku tak normal lagi ? atau kah aku .....

“Satu persatu...
Hujan turun dari gerimis yang menjadi jadi
Beranda belakang rumah menjadi panggung orkestra
Satu persatu...
Dedaunan larut terhanyut di genangan kenangan
Ringkas meringkas abjad alam semesta
Satu persatu...
Aku mengerti langit tumpah ruah
Tak kuat ia meyangga derita senja bermuram
Januari selalu datang dengan musimnya
Air masih mengisi sebagian besar angka angka di dalamnya
Pelukan adalah harap terbesar dua manusia
Sebagaimana jarak mengeja kekuatan tuhan, cinta
Satu persatu...
Berubah akan mengubah
Pada sajak menjadi sejak
Kita tumbuh seperti tumbuhan
Yang mengakar kelakar
Tanpa batas





 04:44 pm