Senin, 12 Desember 2011

Dusta, seharusnya bukan bagian dari dosa

"Dusta adalah usaha kita yang paling manusiawi, yang membedakannya dengan hewan dan tumbuhan. Makhluk lain itu tak perlu pembaruan atas peristiwa yang di alami. Kita memerlukannya sebagaimana bernafas, sebagaimana jantung yang berdetak dengan sendirinya. 

Dusta adalah upaya yang wajar melakukan rekonstruksi peristiwa yang terjadi. Hanya dengan begitu kita menjadi manusia yang bebas, yang menawar,mengubah, membentuk nasib yang kita jalani. Kebebasan manusia ditandai dengan keberanian untuk mengubah peristiwa, atau nasib, atau takdir, atau belenggu abadi. Apalagi, ini bisa di lakukan dengan sadar. Bahkan untuk menjadi umat yang patuh pun kita melalui dusta.

Dusta tak mengingkari realitas, karena realitas itu sendiri berubah terus.

Karena itulah dusta sebenarnya bentuk lain dari yang kita kenal sebagai jatuh cinta. Dalam keadaan jatuh cinta, kita menangkap senyuman sebagai perhatian, kita menemukan realitas lain dari sebatang cokelat sebagai sesuatu yang istimewa. Mereka yang sedang jatuh cinta sebenarnya sedang mendustai dalam pengertian mengubah realitas yang ada. Seorang suami akan merasa bertanggung jawab dengan terbungkuk-bungkuk menghidupi istrinya sepanjang hidupnya atau sepanjang hidup istrinya. 

Seperti juga halnya dengan kesetiaan, kenikmatan dan ketidak nikmatan. Kita mau menanggung itu semua karena kenyataan dibentuk menjadi seperti itu.

Aku teringat kau ... "

* DEWI KAWI- seorang pelacur yang menginspirasi .
semua berhak untuk bahagia, bahkan pelacur-pun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar