Jumat, 07 September 2012

Pulang ke pelukan


 Langit tetiba mendung, awan awan kelabu menutupi seangkasa raya. Menjadikannya kelam tak karuan, angin angin sudah membawa kesan dingin dan titik titik air pun mulai kurasa di telapak tangan dan wajahku. “Jangan hujan, jangan hujan, jangan hujan dulu” hanya kata-kata itu yang terlontar dalam mulut kecilku saat ini. Ku lirik jam di tangan menunjukkan pukul empat. 
 
Aku tiba di stasiun lebih awal dari jam 5 sore. Tak ingin ku terlambat menjemputmu yang hari ini berjanji akan pulang. Entahlah, definisi pulang itu apa. Entah pulang yang berarti kerumah, tempat yang melahirkanmu. Atau pulang, tempat yang membuatmu nyaman di dalamnya, seperti hatiku mungkin ? ah sudahlah, tak penting mendefinisikan arti pulang sekarang. Toh apapun artinya, pulang selalu membawa ke tempat yang membuatmu merindu selama ini.

“sayang, aku tiba disana mungkin jam lima sore. Ku usahakan bisa ikut kereta pertama, Jangan lupa jemput aku di stasiun tempat dimana kita berpisah dulu yah.. love you, andhra”. 

Tak henti-hentinya mataku menatap layar hape yang berisikan smsmu satu jam yang lalu dengan hati yang bahagia, mengingat kita akan berpelukan lagi setelah setahun berpisah oleh jarak dan tempat yang memang diciptakan untuk kita saling menabung rindu sampai ketemu lagi. Dan sekarang, tabungan rindu itu akan ku pecahkan. Terlalu menumpuk, menyesaki dada dengan timbunan rindu yang semakin hari semakin bertumbuh menjadikan aku kaya oleh rerinduan ku padanya. 

Untuk membunuh waktu yang sepertinya ingin mempermainkanku dengan mendistorsi menit ke menit yang berjalan semakin lama di dalam masa penantian, ku buka tas yang sedari tadi kubiarkan tergeletak di samping kursi panjang yang sedang ku duduki ini. Sengaja ku bawakan beberapa potong sandwich untukmu dari rumah. Kutahu engkau pasti lapar setelah melewati perjalanan panjangmu. Setelah memastikan semua sandwich dan air mineral itu baik baik saja kondisinya, ku tutup lagi tas itu dan kembali meletakkannya disampingku.

Mataku menatap jauh ke langit yang sedang mendung, kulihat ada beberapa kawanan burung yang sedang berarak pulang ke utara. Mungkin mereka lelah seharian berkelana mencari makan di selatan, dan sekarang saatnya pulang. “Sore hari memang waktu yang pas untuk kembali kerumah” gumamku dalam hati. Sore dimana malam belum benar benar terjadi dan hari mulai ditutup. sementara lelah belum benar benar terbayarkan dengan istirahat. 

Aku mulai membayangkanmu, seperti apa wajahmu sekarang. Apakah kau tetap seperti setahun lalu yang berbadan tegap ? apakah kau tambah kurus, atau gemuk ? semakin putih, atau menghitam ?
Beberapa pertanyaan tak menentu itu tiba tiba menyerang fikiranku yang memang sedang memaksa untuk dijawab. Berloncatan kesana kemari seperti kutu yang mendiami kepalaku. 

Hubunganku dengan andhra sudah berlangsung 3 tahun. Selama itu pula kami sudah berteman akrab dengan jarak, rindu dan ikhlas. Tentu saja, sesekali aku mengumpat pada takdir. Kenapa kami di pisahkan. Namun Andhra selalu bisa membuatku tenang menghadapi hubungan jarak jauh ini, dia selalu bisa mendinginkan isi kepalaku yang memanas saat rindu menyalakan api api kecil dan bertumbuh besar dalam hati. Itu sebabnya aku selalu kuat menghadapi jarak yang egois dan mau menang sendiri. Dari andhra pula aku belajar arti ikhlas dan mengikhlaskan. Ikhlas dengan semua keadaan seperti ini, dan mengikhlaskan apapun yang terjadi sampai kelak bertemu kembali. Jarak ada supaya kita bisa merasakan dan menghargai waktu. Waktu bersama menjadi saat termahal yang harus di bayar setelah penantian panjang. Untuk sebab itu, dari seringnya aku mengutuk jarak, namun sempat terbesit rasa terimakasih karena dari jarak aku bisa mengilhami rindu dan mengerti ikhlas yang sebenarnya.

Lamunanku terhenti saat ku rasa ada setitik air yang menetes di wajahku. Oh tidak, hujan! Lebih tepatnya gerimis kecil kecil. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Aku ragu, antara harus berteduh ataukah tetap pada penantianku di kursi stasiun ini. 

Tak lama kemudian kudengar jejerit peluit panjang dari kereta api. Cepat mataku melirik arah datangnya suara yang menjadi pertanda adanya kereta api yang datang di sore itu. Tak kuhiraukan titik titik air yang terus menghujami tubuhku bagai timpukan jarum jarum itu. Dengan sedikit mempercepat jalanku, ku datangi gerbong kereta api yang sedikit demi sedikit melambat di depanku. Sambil kucari cari wajah yang ku kenal, andhraku. 

Oh oke, saatnya berjuang mencari andhra dari hiruk pikuknya kerumunan orang lain yang turun dari kereta dan lebatnya gerimis sore ini. Aku terus mencari dan mencari, mana dia, mana. Terus melangkah sampai ketemu.

“ Fesya! ” samar samar ada teriakan kecil yang ku dengar dari belakang. Kubalikkan langkahku dan mencari dari mana arah datangnya suara yang meneriakkan namaku itu. Tapi darimana datangnya? Mana andhraku ? oh tuhan, aku benci minus ini. ku ambil kacamataku dari dalam tas supaya bisa melihat dengan jelas di momen moment penting bagiku seperti sekarang. 

Setelah kacamata itu terpasang dengan baik di kedua mata, aku terkejut. Tiba tiba ada bayangan di depan ku. Tepat di depan mataku kulihat seorang lelaki yang sepertinya ku kenal, dia tersenyum padaku yang masih belum secepat dia mengenaliku. 

“andhra ? kamu andhraku, kan ? “ aku masih tak percaya pada penglihatanku sekarang. Setelah dia menyebut namaku, “fesya ku sayang, kau tak berubah sedikitpun” aku mendapat keyakinan itu suara kekasihku. Kekasih yang setahun lalu ku lepas ditempat yang sama dan sekarang memberikan teduh senyumnya yang kurindukan itu. 

Di bawah naungan senja yang bergerimis itu ada dua anak manusia yang sedang berpelukan. Keduanya tak peduli kalau matahari malu malu melihat mereka dan akhirnya menenggelamkan diri di ufuk barat, dan di iringi gerimis yang semakin melebat di sekelilingnya. 

Sekarang kami berada di zona temporal, dimana jarum jam tak berfungsi sebagai penanda waktu, jantung tak berdetak sebagai penanda nafas. Namun tak ada yang peduli untuk memperhatikan keganjilan itu semua. Terus melekatkan hati ke hati, memulangkan rasa rindu ke rumah masing masing. Dan lebih memilih bungkan untuk terus bersama sama. 

Mungkin ini yang dimaksud pulang, tak penting dimana alamat rumah.
“pulang” inilah yang kami perlukan sekarang. Pulang ke pelukan yang meneduhkan, dan tak ada lagi jarak yang perlu dirisaukan.


#30HariLagukuBercerita
#marsLDR (Inspired by : First Train Home – Imogen Heap)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar