Langit tetiba mendung, awan awan kelabu menutupi seangkasa raya. Menjadikannya kelam tak karuan, angin angin sudah membawa kesan dingin dan titik titik air pun mulai kurasa di telapak tangan dan wajahku. “Jangan hujan, jangan hujan, jangan hujan dulu” hanya kata-kata itu yang terlontar dalam mulut kecilku saat ini. Ku lirik jam di tangan menunjukkan pukul empat.
Aku tiba di stasiun lebih awal dari jam 5 sore. Tak ingin ku terlambat
menjemputmu yang hari ini berjanji akan pulang. Entahlah, definisi pulang itu
apa. Entah pulang yang berarti kerumah, tempat yang melahirkanmu. Atau pulang,
tempat yang membuatmu nyaman di dalamnya, seperti hatiku mungkin ? ah sudahlah,
tak penting mendefinisikan arti pulang sekarang. Toh apapun artinya, pulang
selalu membawa ke tempat yang membuatmu merindu selama ini.
“sayang, aku tiba disana mungkin jam lima sore. Ku usahakan bisa ikut
kereta pertama, Jangan lupa jemput aku di stasiun tempat dimana kita berpisah
dulu yah.. love you, andhra”.
Tak henti-hentinya mataku menatap layar hape yang berisikan smsmu satu jam
yang lalu dengan hati yang bahagia, mengingat kita akan berpelukan lagi setelah
setahun berpisah oleh jarak dan tempat yang memang diciptakan untuk kita saling
menabung rindu sampai ketemu lagi. Dan sekarang, tabungan rindu itu akan ku
pecahkan. Terlalu menumpuk, menyesaki dada dengan timbunan rindu yang semakin
hari semakin bertumbuh menjadikan aku kaya oleh rerinduan ku padanya.
Untuk membunuh waktu yang sepertinya ingin mempermainkanku dengan
mendistorsi menit ke menit yang berjalan semakin lama di dalam masa penantian,
ku buka tas yang sedari tadi kubiarkan tergeletak di samping kursi panjang yang
sedang ku duduki ini. Sengaja ku bawakan beberapa potong sandwich untukmu dari
rumah. Kutahu engkau pasti lapar setelah melewati perjalanan panjangmu. Setelah
memastikan semua sandwich dan air mineral itu baik baik saja kondisinya, ku
tutup lagi tas itu dan kembali meletakkannya disampingku.
Mataku menatap jauh ke langit yang sedang mendung, kulihat ada beberapa
kawanan burung yang sedang berarak pulang ke utara. Mungkin mereka lelah
seharian berkelana mencari makan di selatan, dan sekarang saatnya pulang. “Sore
hari memang waktu yang pas untuk kembali kerumah” gumamku dalam hati. Sore
dimana malam belum benar benar terjadi dan hari mulai ditutup. sementara lelah
belum benar benar terbayarkan dengan istirahat.
Aku mulai membayangkanmu, seperti apa wajahmu sekarang. Apakah kau tetap
seperti setahun lalu yang berbadan tegap ? apakah kau tambah kurus, atau gemuk
? semakin putih, atau menghitam ?
Beberapa pertanyaan tak menentu itu tiba tiba menyerang fikiranku yang
memang sedang memaksa untuk dijawab. Berloncatan kesana kemari seperti kutu
yang mendiami kepalaku.
Hubunganku dengan andhra sudah berlangsung 3 tahun. Selama itu pula kami
sudah berteman akrab dengan jarak, rindu dan ikhlas. Tentu saja, sesekali aku
mengumpat pada takdir. Kenapa kami di pisahkan. Namun Andhra selalu bisa
membuatku tenang menghadapi hubungan jarak jauh ini, dia selalu bisa
mendinginkan isi kepalaku yang memanas saat rindu menyalakan api api kecil dan
bertumbuh besar dalam hati. Itu sebabnya aku selalu kuat menghadapi jarak yang
egois dan mau menang sendiri. Dari andhra pula aku belajar arti ikhlas dan
mengikhlaskan. Ikhlas dengan semua keadaan seperti ini, dan mengikhlaskan
apapun yang terjadi sampai kelak bertemu kembali. Jarak ada supaya kita bisa
merasakan dan menghargai waktu. Waktu bersama menjadi saat termahal yang harus
di bayar setelah penantian panjang. Untuk sebab itu, dari seringnya aku
mengutuk jarak, namun sempat terbesit rasa terimakasih karena dari jarak aku
bisa mengilhami rindu dan mengerti ikhlas yang sebenarnya.
Lamunanku terhenti saat ku rasa ada setitik air yang menetes di wajahku. Oh
tidak, hujan! Lebih tepatnya gerimis kecil kecil. Kulihat jam sudah menunjukkan
pukul lima sore. Aku ragu, antara harus berteduh ataukah tetap pada penantianku
di kursi stasiun ini.
Tak lama kemudian kudengar jejerit peluit panjang dari kereta api. Cepat
mataku melirik arah datangnya suara yang menjadi pertanda adanya kereta api
yang datang di sore itu. Tak kuhiraukan titik titik air yang terus menghujami
tubuhku bagai timpukan jarum jarum itu. Dengan sedikit mempercepat jalanku, ku
datangi gerbong kereta api yang sedikit demi sedikit melambat di depanku.
Sambil kucari cari wajah yang ku kenal, andhraku.
Oh oke, saatnya berjuang mencari andhra dari hiruk pikuknya kerumunan orang
lain yang turun dari kereta dan lebatnya gerimis sore ini. Aku terus mencari
dan mencari, mana dia, mana. Terus melangkah sampai ketemu.
“ Fesya! ” samar samar ada teriakan kecil yang ku dengar dari belakang.
Kubalikkan langkahku dan mencari dari mana arah datangnya suara yang meneriakkan
namaku itu. Tapi darimana datangnya? Mana andhraku ? oh tuhan, aku benci minus
ini. ku ambil kacamataku dari dalam tas supaya bisa melihat dengan jelas di
momen moment penting bagiku seperti sekarang.
Setelah kacamata itu terpasang dengan baik di kedua mata, aku terkejut.
Tiba tiba ada bayangan di depan ku. Tepat di depan mataku kulihat seorang
lelaki yang sepertinya ku kenal, dia tersenyum padaku yang masih belum secepat
dia mengenaliku.
“andhra ? kamu andhraku, kan ? “ aku masih tak percaya pada penglihatanku
sekarang. Setelah dia menyebut namaku, “fesya ku sayang, kau tak berubah
sedikitpun” aku mendapat keyakinan itu suara kekasihku. Kekasih yang setahun lalu
ku lepas ditempat yang sama dan sekarang memberikan teduh senyumnya yang
kurindukan itu.
Di bawah naungan senja yang bergerimis itu ada dua anak manusia yang sedang
berpelukan. Keduanya tak peduli kalau matahari malu malu melihat mereka dan
akhirnya menenggelamkan diri di ufuk barat, dan di iringi gerimis yang semakin
melebat di sekelilingnya.
Sekarang kami berada di zona temporal, dimana jarum jam tak berfungsi
sebagai penanda waktu, jantung tak berdetak sebagai penanda nafas. Namun tak
ada yang peduli untuk memperhatikan keganjilan itu semua. Terus melekatkan hati
ke hati, memulangkan rasa rindu ke rumah masing masing. Dan lebih memilih
bungkan untuk terus bersama sama.
Mungkin ini yang dimaksud pulang, tak penting dimana alamat rumah.
“pulang” inilah yang kami perlukan sekarang. Pulang ke pelukan yang meneduhkan,
dan tak ada lagi jarak yang perlu dirisaukan.
#30HariLagukuBercerita
#marsLDR (Inspired by : First Train Home – Imogen Heap)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar