Tersebutlah disebuah senja yang pilu dan bisu;
Kudengar hati
dan fikir yang berdialog monoton. Melambai bagai alunan musik kosong yang tak
bernada. Fikir menuntut hati agar segera mungkin untuk membersihkan sisa masa
yang berserakan dimana mana, karena itu membuat fikir tak bisa bekerja dengan
baik.
Namun, tak
semudah itu “jawab hati” . hati memerlukan waktu yang tak tentu untuk benar
benar membersihkan runtuhan itu. Fikir yang tak mau tahu, karena dia juga
dituntut oleh yang bernama keadaan yang mengharuskan hal hal baru untuk
difikirkan.
Lalu apa
sekarang ? hati menangis, karena tak bisa memenuhi tuntutan fikir yang keras.
Dia masih benar benar berusaha agar runtuhan yang berserakan itu tak bertebaran
kemana mana memenuhi ruang dalam hati.
Perlu seseorang
yang dengan bersedia melepas tancapan retakan kaca yang pecah dan mendalam
dalam hati yang lunak ini.
Ohh fikir,
mengertilah!
Jangan kau
paksa hati sampai dia menangis begitu. Kau tak adil, bagaimana bisa kau melukai
hati yang sangat mencintaimu. Mestinya kau fikirkan itu fikir!
Ya, baiklah.
Sekarang kau carilah cara supaya hati bisa tenang, dan bantulah dia untuk
melepas tancapan retakan kaca masa lalu ini. Beri hati pengertian, kalau kau
fikir, akan selalu menemani hati dalam benar atau salah. Jangan Cuma bisa
menyalahkan nya saja, tapi rasakan.
Dan, dialog monoton ini berakhir
saat senja berganti malam;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar